Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Nama Kelompok :
- Rizki Putra Utama
- Septya Rahayu Pertiwi
- Susi Priyanti
Anti
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
Undang-undang lahir karena ada kebutuhan, yang bisa
berubah dan berkembang dari waktu kewaktu. Amerika, Eropa, maupun Asia
mempunyai alasan yang berbeda sewaktu melahirkan ataupun mengubah undang-undang
anti-monopoli. Di Amerika Serikat Anti-Trust
Law lebih berorientasi kepada inovasi teknologi dan dipakai sebagai technology policy. Sejak lahirnya pada
tahun 1890, sudah mengalami perubahan beberapa kali. Keadaan ekonomi, pemikiran
politisi anggota kongres, dan kebijakan presiden/pemerintah, serta pendekatan
pemikiran scholars yang berbeda telah
mendorong terjadinya penyesuaian undang-undang tersebut. Sejak lahirnya pada
tahun 1890 Anti Trust Law telah melewati
periode-periode yang berbeda. Tahun 1890-1930 merupakan The Formative Period; 1930-1970 The
New Deal Order; 1970-1990 Consolidation
of Chicago School; dan mulai 1999 timbul kritik terhadap pemikiran Chicago School (David M Hart, Harvard University). Tapi pada dasarnya
perubahan-perubahan tersebut timbul karena adanya pandangan mengenai inovasi
teknologi dari paradigma concentration
menjadi deconcentration dan
sebaliknya
Perkembangan
peraturan anti-monopoli di beberapa Negara umumnya merupakan pencerminan dari
perkembangan bisnis. Semakin dinamis perkembangan bisnisnya semakin cepat
munculnya peraturan anti-monopoli.
Amerika
Serikat.
Di Amerika
Serikat pada tahun 1890, Kongres menyetujui pemberlakuan Undang-undang yang
berjudul “Act to Protect Trade and
Commerce Against Unlawful Restraint and Monopolies”. Undang-undang itu
lebih dikenal sebagai Sherman Act sesuai dengan nama penggagasnya. Akan tetapi
dikemudian hari muncul serangkaian aturan perundangan untuk melengkapinya,
sebagai berikut:
1.
Sherman
Antitrust Act (1890)
2.
Clayton
Act (1914)
3.
Federal
Trade Commision Act (1914)
4.
Robinson-Patman
Act (1934)
5.
Celler-Kefauver
Anti Merger Act (1950)
6.
Hart-Scott-Rodino
Antitrust Improvement Act (1976)
7.
International
Antitrust Enforcement Assistance Act (1994)
Banyaknya
aturan hukum anti-monopoli tersebut merupakan refleksi pemerintah Amerika
Serikat agar efektif dan sesuai dengan perkembangan zaman dan kemajuan ekonomi
guna menjaga dan menciptakan persaingan usaha yang sehat. Hal ini sekaligus
indikasi bahwa dunia bisnis dan ekonomi telah berkembang dengan pesat dan
sangat dinamis.
Jepang
Pada
tanggal 14 April 1947, Majelis Nasional (Diet) Jepang mengesahkan undang-undang
yang diberi nama “Act Concerning
Prohibition of Private Monopoly and Maintenance of Fair Trade”, atau
dikenal dengan Dokusen Kinshi Ho.
Dengan berlakunya undang-undang ini beberapa raksasa industry (zaibatsu) Jepang terpaksa
direstrukturisasi dengan memecah diri menjadi beberapa perusahaan yang lebih
kecil. Mitsubishi Heavy Industry
dipecah menjadi 3 perusahaan. The Japan
Steel Corp dipecah menjadi 2 perusahaan terpisah.
Korea
Selatan
Undang-undang
No. 3320 yang diberi nama “The Regulation
of Monopolies and Fair Trade Act” disyahkan pada tanggal 31 Desember 1980.
Dengan dekrit Presiden UU tersebut diberlakukan pada April 1981. Mengingat
pesatnya perekonomian Negara maka UU tersebut telah mengalami 7 kali amandemen.
Australia
Sebagai
Negara anggota Persemakmuran yang anggotanya adalah Negara-negara eks jajahan
Inggris, maka Australia telah mendasarkan dirinya kepada ekonomi pasar. Oleh
karenanya sejak tahun 1906 Australia telah memiliki “The Australian Industries Preservation Act” yang berisi larangan
monopoli dan percobaan monopoli serta praktek-praktek dagang yang bersifat
anti-persaingan. Karena pesatnya perekembangan ekonomi maka setidaknya telah
terjadi 3 kali amandemen atas UU tersebut.
Jerman
Sejak tahun
1909, Jerman telah memiliki Gesetz gegen
Lauteren Wettbewerb UWG (Undang-undang Melawan Persaingan Tidak Sehat).
Namun sejak selesainya Perang Dunia II dimana Negara Jerman terbagi menjadi 2
yaitu Jerman Barat dan Timur yang berbeda system ekonominya, maka UU tersebut
tidak relevan lagi. Di Jerman Timur yang menganut system ekonomi sosialis
dimana perekonomian disusun dan dilaksanakan secara terpusat oleh Pemerintah
maka UU anti-monopoli menjadi tidak relevan, sebaliknya di Jerman Barat yang
system ekonominya berorientasi pasar emskipun dijalankan dengan system sosialis
tetap diperlukan UU anti-monopoli. Dengan alasan itu parlemen (Bundestag) menyetujui diundangkannya Gesetz gegen Wettbewerbsbescrankungen (UU
Perlindungan Persaingan) yang lebih dikenal dengan sebutan Kartel Act.
1. PRAKTEK
ANTI MONOPOLI DI INDONESIA
Bagaimana perkembangan di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia? Di satu sisi UU No 5/1999 mengamanatkan dekonsentrasi
(berlaku bagi konglomerat?), tetapi di sisi lain terutama bagi BUMN/BPPN
terjadi proses konsentrasi. Kita memang dihadapkan kepada kenyataan bahwa
perusahaan yang kita miliki baik swasta maupun BUMN dapat dikatakan masih kecil
(dalam ukuran dunia). Dengan terjadinya krisis ekonomi yang kita hadapi,
keuangan negara menjadi makin kecil atupun tidak ada sama sekali untuk
mengembangkan perusahaan.
Perusahaan-perusahaan yang berada di bawah pengelolaan
BPPN pada waktu itu, termasuk perbankan, satu per satu "dijual".
Khususnya dalam perbankan terjadi gelombang merger. Bank Mandiri merupakan
gabungan Bank Exim, Bapindo, Bak Bumi Daya, dan Bank Dagang Negara. Demikian
juga dilingkungan BUMN, pabrik Semen Padang dan Tonasa digabung dengan Semen
Gresik, kemudian sebagian sahamnya dijual kepada perusahaan asing
(Cemex-Mexico).
Dua persero perdagangan (Dharma Niaga dan Panca Niaga)
digabung menjadi PT PPI. Di sisi lain juga terjadi pemisahan, seperti PT MNA
dikeluarkan kembali dari Garuda. PT Pakarya Industri (dulunya BPIS), yang merupakan
holding company BUMNIS, dibubarkan
dan perusahaan-perusahaan yang terkait dikembalikan sebagai BUMN yang mandiri
(DI, Pindad, PAL, Inka, KS, Inti, LEN, dan Dahana).
Dengan terbatasnya keuangan negara timbul gelombang
penyertaan swasta dalam pembangunan infrastruktur, dinamakan kemitraan (bukan
swastanisasi). Berbagai ragam kemitraan telah dikembangkan, seperti BOT, BOO,
BTO, BLT, KSO, KSM, dan lainnya. Contoh jalan tol, telekomunikasi, kilang
minyak, air minum, dan lain-lain.
Upaya lain juga terjadi dengan cara unbundling. Hanya bagian-bagian pengusahaan tertentu yang akan
diswastakan. Misalnya PLN hanya bagian pembangkit tenaga listrik; pelabuhan
hanya bagian terminal kontainer.
Isu yang menonjol di dalam negeri adalah sekitar duopoli
Indosat dan Telkom dalam telekomunikasi. Puncaknya ialah penjualan saham
Indosat kepada STT Singapura, pada tahun 2002. Dengan memiliki saham Indosat,
berarti juga menguasai perusahaan IM3 dan Satelindo. Selain itu kelompok STT
juga menjadi mitra Telkom di wilayah Indonesia Timur dalam rangka KSO. Banyak
pihak telah menyatakan kepeduliannya terhadap penjualan Indosat kepada STT
Singapura, termasuk KPPU, tapi penjualan saham Indosat jalan terus. Bagaimana
peranan Badan Pertimbangan Telekomunikasi?
Infrastruktur bukan komoditi biasa (private goods), melainkan public
goods, jadi penanganannya pun harus lain. Karena di dalamnya selalu melekat
natural monopoly dan implikasinya
yang cross sectoral. Di sini KPPU
harus cermat melakukan "pengawasan".
Meskipun banyak pernak-pernik dalam praktik anti-monopoli
di Indonesia, namun langkah masyarakat dalam menegakkan persaingan usaha yang
sehat sudah berada pada jalur yang benar (on the right track). Bila
disandingkan dengan UUD ’45 yang diamandemen, maka UU no.5/1999 tentang
persaingan usaha yang sehat dan anti-monopoli tersebut telah sejalan. Dalam
pasal 33 ayat 4, disebutkan bahwa Perekonomian nasional diselenggarakan
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi keadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Kata efisiensi dan
keadilan adalah ruh dari UU no.5/1999. Karena mustahil suatu produsen dapat
bersaing dengan sehat di pasar bebas tanpa mengindahkan kaidah-kaidah efisiensi.
Demikian pula keadilan adalah kata kunci dari UU no.5/1999 ini. Adil dalam arti
konsumen merasa bahwa barang yang dibeli adalah murah, sementara itu produsen
merasa bahwa barang yang dijualnya cukup mahal sehingga mendapat untung.
Menarik untuk ditelaah, mengingat UU anti-monopoli tersebut disyahkan tahun
1999 jauh sebelum UUD ’45 diamandemen (pasal 33 ayat 4 diamandemen tahun 2002).
Bisa jadi actor kedua produk hukum tersebut adalah sama atau mempunyai visi
ekonomi yang sama.
2. PERSAINGAN
USAHA TIDAK SEHAT
Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat : Sebagai langkah yang paling jelas dalam penataan
persaingan usaha di Indonesia, agar tidak terjadi penguasaan Industri oleh
kelompok pelaku bisnis tertentu, dan agar terjadi iklim yang kondusif dalam
dunia usaha serta memberikan kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha
besar, menengah dan kecil, agar terjadi efisiensi dalam perekonomian nasional
maka diundangkan Undang-Undang No.5 Tahun 1999 sebagai upaya meningkatkan
kesejahteraan rakyat untuk mencapai masyarakat adil dan makmur yang merata. Ada
beberapa ketentuan mengenai larangan terhadap beberapa hal yang ditetapkan
dalam Undang-Undang tersebut, ialah mengenai hal-hal sebagai berikut 128 : 128
Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
a. Larangan melakukan perjanjian dengan pelaku
usaha lain yang dapat mengakibatkan praktek monopoli atau persaingan usaha
tidak sehat. Larangan-larangan tersebut adalah :
• Membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
yang bertujuan atau berakibat penguasaan produksi dan atau persamaan barang
atau jasa (pasal 4 ayat 1).
• Membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga barang atau jasa yang harus dibayar oleh
konsumen (pasal 5 ayat 1).
•
Membuat perjanjian dengan pembeli yang mengakibatkan terjadinya perbedaan
(diskriminasi) harga barang atau jasa yang harus dibeli oleh pembeli yang satu
dengan pembeli yang lain (pasal 6).
•
Membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga
dibawah harga pasar (pasal 7).
•
Membuat perjanjian yang melarang pembeli barang atau jasa untuk menjual atau memasok
kembali barang atau jasa yang dibelinya itu dengan harga yang lebih rendah dari
pada harga yang ditetapkan dalam perjanjian (pasal 8).
• Membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran diantara mereka, dimana pelaku
usaha yang satu hanya akan melakukan pemasaran diwilayah pemasarannya sendiri
sebagaimana yang telah disepakati dan tidak melakukan pemasaran di wilayah
pemasaran mitra janjinya (pasal 9)
•
Membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan melakukan
pemboikotan terhadap para pelaku usaha pesaing mereka yang bertujuan :
- Menghalangi pelaku usaha lain untuk dapat melakukan usaha yang sama (pasal 10 ayat 1).
- Menolak menjual setiap barang atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain (pasal 10 ayat 2 huruf a), dan membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan (pasal 10 ayat 2 huruf b).
• Membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang
bertujuan terbentuknya suatu kartel diantara mereka (pasal 11).
• Membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerjasama dengan membentuk suatu trust diantara mereka (pasal 12)
• Membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk terciptanya oligopsoni (pasal 13)
• Membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk terjadinya integrasi vertikal diantara mereka (pasal 14)
• Membuat perjanjian yang mempersyaratkan agar pelaku usaha yang lain hanya memasok atau tidak memasok kembali barang atau jasa yang telah dibelinya kepada pihak tertentu atau ditempat tertentu (pasal 15 ayat 1)
• Membuat perjanjian dengan pihak lain yang mempersyaratkan bahwa pihak lain hanya dapat membeli apabila yang bersangkutan membeli pula barang atau jasa yang lain dari yang bersangkutan (pasal 15 ayat 2)
• Membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga atas barang atau jasa yang mensyaratkan bahwa pihak yang lain akan diberi harga yang dimaksud atau akan diberi potongan atas harga tersebut apabila yang bersangkutan :
- Bersedia pula membeli barang atau jasa yang lain (pasal 15 ayat 3 huruf b)
- Tidak akan membeli barang atau jasa yang sama dari pelaku usaha pesaingnya (pasal 15 ayat 3 huruf a).
• Membuat perjanjian dengan pihak diluar negeri yang membuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (pasal 16)129
b. Larangan melakukan kegiatan-kegiatan
tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan
usaha tidak sehat. Kegiatan-kegiatan yang dilarang itu adalah sebagai berikut :
• Melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang atau jasa (pasal 17 ayat 1) 129 Kalimat-kalimat dalam butir-butir diatas dan dibawah ini tidak disalin sama persis dengan kalimat-kalimat yang digunakan dalam Undang-Undang no.5 tahun 1995, hal ini dilakukan untuk lebih dapat dimengerti atau dipahami oleh pembaca.
• Menjadi pembeli tunggal atas barang atau jasa dalam pasar yang bersangkutan (pasal 18 ayat 1)
• Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha yang lain untuk melakukan kegiatan usaha yang sama dalam pasar yang bersangkutan (pasal 19 huruf a).
• Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha yang lain untuk melakukan kegiatan usaha yang sama dalam pasar yang bersangkutan (pasal 19 huruf b).
• Menghalangi konsumen atau pelanggan dari pelaku usaha pesaingnya untuk dapat melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya (pasal 19 huruf c).
• Membatasi peredaran dan atau penjualan barang atau jasa pelaku usaha pesaingnya dalam pasar yang bersangkutan (pasal 19 huruf d)
• Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu (pasal19 hurufe)
• Melakukan penjualan secara rugi atau dengan harga yang sangat rendah yang bertujuan untuk mematikan usaha pesaingnya dipasar yang bersangkutan (pasal 20)
• Melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan jasa (pasal 21).
• Melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender (pasal 22)
• Melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha yang merupakan rahasia perusahaan pesaingnya (pasal 23), dan untuk menghambat produksi atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya (pasal 24).
• Menyalahgunakan posisi dominan untuk menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen dalam memperoleh barang atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas (pasal 25 ayat 1 huruf a)
• Menyalahgunakan posisi dominan untuk membantu pasar dan pengembangan teknologi serta menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar yang bersangkutan.
• Memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha pada bidang dan pasar yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan, bila kepemilikan tersebut mengakibatkan :
- Satu pelaku usaha atau satu kelompok satu usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar atau jenis barang atau jasa tertentu (pasal 27 huruf a).
- Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu (pasal 27 huruf b).
• Melakukan pengabungan dan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (pasal 28 ayat 1)
• Melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain, apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (pasal 28 ayat 2)
A. PERSAINGAN USAHA
SEHAT DAN PERLINDUNGAN
KONSUMEN
Apa yang seharusnya dilarang? Untuk
menjamin terjadinya persaingan usaha sehat dan dapat melindungi konsumen
diperlukan upaya-upaya pembatasan dan pelarangan, diantaranya adalah:
- Larangan yang bersifat Per Se Illegal
Perbuatan-perbuatan sebagai manifestasi
perilaku para pelaku usaha yang secara tegas dilarang (per se illegal atau per
se violations) antara lain menetapkan berbagai bentuk perjanjian yang dilarang,
kegiatan yang dilarang, maka KPPU cukup membuktikan bahwa telah terjadi
pelanggaran. McConnel (205; 603) menyebutkan larangan ini dalam bentuk
penetapan harga bersama (price fixing)
dan pembedaan harga (price
discrimination) dan kontrak yang mengikat (tying contracts). Contohnya:
a.
Telah
terjadi perjanjian antara 7 pelaku usaha di bidang pelayaran untuk mengatur
tariff dan kuota yang melayani jalur Surabaya-Makasar-Surabaya dan jalur
Makasar-Jakarta-Makasar. Dalam putusannya KPPU memerintahkan untuk membatalkan
kesepakatan tariff dan kuota dan mengumumkan pembatalannya pada surat kabar
harian berskala nasional.
b.
Telah
terjadi pemblokiran terhadap kode akses 001 dan 008 milik PT Indosat dengan
cara menutup layanan SLI kode akses 001 dan 008 di beberapa warung
telekomunikasi (wartel) dan sebagai gantinya menyediakan layanan internasional
017. Ketentuan ini menyebabkan pelaku usaha penyelenggara wartel kehilangan
kebebasan dalam mengembangkan usaha wartelnya, disamping menempatkan konsumen
atau pengguna jasa wartel dalam posisi tidak memiliki pilihan dan tidak akan
memberikan manfaat ekonomi sebesar-besarnya pada masyarakat dan pengguna jasa
nasional.
- Larangan yang Bersifat Rule of Reason
Jika suatu kegiatan yang dilarang dilakukan
oleh seorang pelaku usaha akan dilihat seberapa jauh efek negatifnya. Jika
terbukti secara signifikan adanya unsure yang menghambat persaingan, baru
diambil tindakan hokum. Perbuatan dan kegiatan yang dilarang yang bersifat rule
of reason adalah:
1.
Perjanjian
yang bersifat oligopoly
2.
Perjanjian
pembagian wilayah pemasaran atau alokasi pasar
3.
Perjanjian
yang bersifat kartel
4.
Perjanjian
yang bersifat trust
5.
Perjanjian
yang bersifat oligopsoni
6.
Kegiatan
usaha yang melakukan praktik monopoli
7.
Kegiatan
usaha yang melakukan praktik monopsoni
8.
Kegiatan
penguasaan pasar
9.
Kegiatan
menjual dibawah harga pokok (predatory
pricing)
10. Jabatan rangkap dalam perusahaan yang
saling bersaing (interlocking directorate)
11. Penggabungan, peleburan, dan
pengambilalihan perusahaan lain.
3. KPPU
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah
sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat
Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat. UU No. 5 tahun 1999 pada intinya melarang
hal-hal:
Perjanjian yang dilarang
|
Kegiatan
yang dilarang
|
Posisi
Dominan
|
1.
Oligopoli
2.
Penetapan Harga
3.
Pembagian Wilayah
4. Pemboikotan
5. Kartel
6. Trust
7. Oligopsoni
8. Integrasi Vertikal
9. Perjanjian Tertutup
10. Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri
|
1. Monopoli
2.
Monopsoni
3.
Penguasaan
Pasar
4.
Persekongkolan
|
1. Umum
2. Jabatan Rangkap
3. Pemilikan Saham
4. Penggabungan,
Peleburan, dan
Pengambilalihan
|
Sumber :
KPPU, 2008, Berita
KPPU, diakses melalui www.kppu.org.id
tanggal 27 April 2008.
Ibrahim,
Johnny, 2006, Hukum Persaingan Usaha, Filosofi,
Teori, dan Implikasi Penerapannya di Indonesia, Bayumedia Publishing,
Malang.
Ibrahim,
Johnny, 2006, Hukum Persaingan Usaha, Filosofi,
Teori, dan Implikasi Penerapannya di Indonesia, Bayumedia Publishing,
Malang.
Ramelan,
Rahardi, 2004, Lima Tahun Anti-Monopoli,
Bisnis Indonesia tanggal 8 Juni.
Soejitro, Pandu. ejournal PRAKTEK MONOPOLI DI INDONESIA PRA DAN PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 5
TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
Komentar
Posting Komentar